Spread dan syarat terbaik kami

Indeks Dolar AS (DXY), yang melacak kinerja Dolar AS (USD) terhadap enam mata uang utama, diperdagangkan datar secara luas pada hari Kamis, di atas 103,70 pada saat berita ini ditulis. Pasar menunggu komentar dari para diplomat AS yang mengunjungi Rusia untuk membahas kesepakatan gencatan senjata, yang sudah mendapatkan lampu hijau dari Ukraina. Rusia telah mengeluarkan tuntutannya dan perubahan pada proposal sebelum para negosiator AS tiba di negara tersebut.
Di sisi ekonomi, sejumlah besar data akan dirilis hari ini pada pukul 12:30 GMT (19:30 WIB). Selain Klaim Tunjangan Pengangguran Awal mingguan AS, data Indeks Harga Produsen (IHP) AS untuk bulan Februari juga akan dirilis. Pasar mengantisipasi hasil lemah lainnya dalam pembacaan inflasi produsen setelah Indeks Harga Konsumen (IHK) AS yang lebih lemah dari yang diprakirakan yang dirilis pada hari Rabu.
Indeks Dolar AS (DXY) mendapatkan dukungan dari kenaikan imbal hasil AS setelah laporan IHK AS untuk bulan Februari yang lebih lemah yang dirilis pada hari Rabu, membuka peluang bagi Federal Reserve (The Fed) untuk memangkas suku bunga lebih lanjut pada tahun 2025. Semua ini terdengar kontradiktif, tetapi itulah mekanisme cara kerja pasar, membawa ketegangan dengan The Fed yang mungkin memangkas suku bunga tahun ini sementara imbal hasil AS terus naik. Setelah dampak tarif Presiden AS Donald Trump terhadap inflasi AS jelas, arah Indeks Dolar AS juga akan menjadi jelas.
Risiko positinya adalah penolakan di 104,00 yang dapat mengakibatkan penurunan lebih lanjut. Jika para pembeli dapat menghindari kasus seperti itu, cari lonjakan besar menuju level angka bulat 105,00, dengan Simple Moving Average (SMA) 200-hari di 105,02. Setelah menembus zona itu, serangkaian level penting, seperti 105,53 dan 105,89, akan muncul sebagai batas.
Di sisi bawah, level angka bulat 103,00 dapat dianggap sebagai target bearish jika imbal hasil AS kembali turun, bahkan 101,90 tidak mustahil jika pasar lebih jauh menyerahkan kepemilikan Dolar AS jangka panjang mereka.
Indeks Dolar AS: Grafik Harian
Secara umum, perang dagang adalah konflik ekonomi antara dua negara atau lebih akibat proteksionisme yang ekstrem di satu sisi. Ini mengimplikasikan penciptaan hambatan perdagangan, seperti tarif, yang mengakibatkan hambatan balasan, meningkatnya biaya impor, dan dengan demikian biaya hidup.
Konflik ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dimulai pada awal 2018, ketika Presiden Donald Trump menetapkan hambatan perdagangan terhadap Tiongkok, mengklaim praktik komersial yang tidak adil dan pencurian kekayaan intelektual dari raksasa Asia tersebut. Tiongkok mengambil tindakan balasan, memberlakukan tarif pada berbagai barang AS, seperti mobil dan kedelai. Ketegangan meningkat hingga kedua negara menandatangani kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok Fase Satu pada Januari 2020. Perjanjian tersebut mengharuskan reformasi struktural dan perubahan lain pada rezim ekonomi dan perdagangan Tiongkok serta berpura-pura mengembalikan stabilitas dan kepercayaan antara kedua negara. Pandemi Coronavirus mengalihkan fokus dari konflik tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa Presiden Joe Biden, yang menjabat setelah Trump, mempertahankan tarif yang ada dan bahkan menambahkan beberapa pungutan lainnya.
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih sebagai Presiden AS ke-47 telah memicu gelombang ketegangan baru antara kedua negara. Selama kampanye pemilu 2024, Trump berjanji untuk memberlakukan tarif 60% terhadap Tiongkok begitu ia kembali menjabat, yang ia lakukan pada tanggal 20 Januari 2025. Perang dagang AS-Tiongkok dimaksudkan untuk dilanjutkan dari titik terakhir, dengan kebijakan balas-membalas yang mempengaruhi lanskap ekonomi global di tengah gangguan dalam rantai pasokan global, yang mengakibatkan pengurangan belanja, terutama investasi, dan secara langsung berdampak pada inflasi Indeks Harga Konsumen.